Archive for the ‘About Pemikiran’ Category

ISLAM NUSANTARA: ANALISIS SEDERHANA LOGIKA BAHASA

Beberapa pekan ini, media massa di Tanah Air dihebohkan dengan isu kontroversial seputar penamaan Islam Nusantara (IN), yang menarik perhatian para kaum intelektual dan cendekiawan beberapa institusi pendidikan ternama, khususnya pendidikan agama, di Indonesia. Kononnya, satu pihak tertentu mendukung penuh gerakan IN tersebut, sedangkan pihak lainnya menolaknya. Tentu setiap pihak berusaha memberikan argumen yang menyakinkan (convincing) para pembaca akan pendapatnya. Bahkan terkadang, untuk mengokohkan pendapat masing-masing, mereka menggunakan istilah yang bombastis, agar audiens menjadi terperangah dan menjadi jinak walhasil mengiyakan opini yang sedang dibangun tersebut. Terlepas dari pro dan kontra mengenainya, tulisan singkat ini sedapat mungkin menghindari perdebatan yang sedang berlangsung dengan sekedar membedah istilah Islam Nusantara tersebut dengan pisau aturan bahasa.

 

Kata Majemuk Dalam Tata Bahasa Asing dan Indonesia.

Dalam tata bahasa Arab, dua kalimat yang yang bergandengan secara paralel bisa dikategorikan menjadi dua: Yang Pertama Muḍāf Muḍaf Ilayh (MMI), yaitu ketika kata benda konkrit ataupun abstrak bergandengan dengan kata benda lain, yang mana gabungan tersebut mengisyaratkan satu makna dari tiga ‘tempat, asal atau bagian, dan kepemilikan). Yang Kedua Na‘t wa Man‘ūt (NM), yaitu ketika kata benda konkrit ataupun abstrak mertemu dengan kata sifat. Contoh kasus dari MMI: jāmi‘ah al-Azhar (yang berarti, lembaga pendidikan di Masjid al-Azhar); niṣf al-sā‘ah (yang berarti, setengah dari satu jam atau 30 menit); dan ṣifāt Allāh (yang berarti, sifat sifat Allah atau sifat-sifat milik Allah). Adapun contoh kasus dari NM: al-masjid al-kabīr (yang berarti, masjid besar atau masjid yang besar); al-qirṭās al-abyaḍ (yang berarti, kertas putih atau kertas yang putih); dan lain sebagainya.

Kedua kategori di atas (MMI dan NM) juga terdapat dalam tata bahasa Inggris. Contoh MMI versi Inggris: University of London (yang berarti, Universitas London atau sebuah universitas di kota London); people of Chinese (yang berarti, orang Cina atau orang yang berasal dari negeri Cina); dan friend of mine (yang berarti, teman saya atau teman milik saya). Contoh NM dalam bahasa Inggris: red pen (yang berarti, pena merah atau pena yang berwarna merah), long way (yang berarti, jalan panjang atau jalan yang panjang); dan lain sebagainya. Perbedaan yang mencolok antara kedua MMI dan NM adalah pengkhususan penggunaan kata ‘yang’ untuk NM, bukan untuk MMI. Karena makna akan menjadi ambigu apabila kata ‘yang’ digunakan untuk MMI. Contoh: frasa kurat al-qadam lebih akurat diterjemahkan sebagai ‘bola kaki’, bukan ‘bola yang kaki’, karena frasa itu termasuk dalam katagori MMI.

Praktik penerapan MMI dan NM di dalam bahasa Indonesia bisa menjadi masalah bagi para pengguna bahasa, apabila mereka tidak mengenali apalagi tak acuh terhadap tata bahasa ibu khususnya tentang MMI dan NM. Terlebih lagi dengan populasi negeri yang semakin meningkat saban tahun, kadang frasa-frasa baru yang diartikulasi oleh pihak-pihak yang tidak berautoriti dalam bidang bahasa, bisa jadi membingungkan yang lain sehingga dalam jangka panjang bisa merusak tatanan bahasa Indonesia. Misalnya, beberapa makna gabungan dua kata bisa berubah makna secara sebagian bahkan total, baik dalam MMI ataupun NM.

Contoh perubahan makna sebagian dalam MMI, nasi kucing. Disebut nasi kucing karena porsi nasi dianggap cukup untuk seekor kucing, bukan lantaran karena nasi itu milik seekor kucing dan berasal dari kucing. Adapun contoh perubahan makna secara total dalam MMI, kutu buku. Maksud dari kutu buku adalah penggemar buku, dengan membacanya sehingga menjadi familiar dengan buku-buku, bukan karena ada hewan kutu yang menempati, berasal, atau memiliki buku tertentu. Contoh perubahan makna sebagian dalam NM, tanggal merah, yang berarti hari libur. Adapun contoh perubahan makna secara total dalam NM, emas hitam. Disebut emas hitam bukan karena emas itu berwarna hitam, bukan pula karena benda yang disifati ‘warna hitam’ itu adalah logam mulia emas. Emas hitam adalah sebutan untuk barang tambang minyak. Lantaran berharganya harga minyak, maka ia disamakan dengan emas.

Islam Nusantara = Islam + Nusantara ?

Untuk mengetahui apakah frasa ‘Islam Nusantara’ termasuk katagori MMI atau NM, seyogianya kita mengetahui terlebih dahulu definisi tiap kata dalam frasa tersebut. Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w sebagai petunjuk bagi seluruh manusia di alam ini. Nusantara adalah kepulauan di alam Melayu yang terbagi menjadi Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina dan Thailand, pada era kontemporer. Kata ‘Islam’ di sini adalah kata benda abstrak karena ia berupa konsep, sedangkan kata ‘Nusantara’ adalah kata benda konkrit karena itu berwujud tempat.

Jika demikian maka, gabungan kedua kata (benda) tersebut termasuk dalam katagori MMI sehingga penulisan yang tepat bukanlah ‘Islam Nusantara’, bukan juga ‘Islam milik Nusantara’, dan juga bukan ‘Islam asal Nusantara’, melainkan ‘Islam di Nusantara’. Contoh frasa lain yang juga menggandengkan kata ‘Nusantara’, sebut saja ‘Masakan Nusantara’ (lebih tepat di sebut Masakan Asal Nusantara); ‘Kerajaan Nusantara’ (lebih tepat disebut Kerajaan di Nusantara); dan ‘Adat dan Pakaian Nusantara’ (lebih tepat disebut ‘Adat dan Pakaian asal Nusantara’).

Frasa ‘Islam Nusantara’ tidak bisa dikatagorikan sebagai NM, karena kata ‘Nusantara’ bukanlah kata sifat yang dengannya kata benda abstrak ataupun konkrit bisa disifati. Akal yang normal tentunya akan menerima hal ini. Lalu jika ada seseorang yang menamakan dan memodelkan Agama Islam dengan frasa ‘Islam Nusantara’ lantaran menyakini bahwa Islam dibawa ke Nusantara ini dengan pendekatan mutawassiṭ yaitu dengan pendekatan budaya, tidak kaku dan keras, toleransi dan inklusif, apakah orang itu ingin mengidentikkan kata ‘Nusantara’ dengan kata ‘Mutawassiṭ’? jika ya, maka kata ‘Nusantara’ yang tergabung dengan kata ‘Makanan’, ‘Kerajaan’, ‘Adat dan Pakaian’ di atas juga bisa ditukar dengan kata ‘Mutawassiṭ’.

Andaikan kita terima pengidentikan kata ‘Nusantara’ dengan kata ‘Mutawassiṭ’, maka frasa ‘Islam Nusantara’ berubah dari katagori MMI ke NM, yang kemudian penulisan yang paling tepat untuknya adalah ‘Islam yang Nusantara’. Atau apabila akal kita sulit menerima, bisalah kita ganti ekspresi tersebut menjadi ‘Islam yang Mutawassiṭ’. Apakah sampai di sini permasalahan telah selesai? Tidak. Karena akal yang normal tentu akan terganggu apabila kata ‘Makanan’, ‘Kerajaan’, ‘Adat dan Pakaian’ bisa juga disifati dengan kata ‘mutawassiṭ’, sehingga menjadi ‘Makanan yang mutawassiṭ’, ‘Kerajaan yang mutawassiṭ’, dan ‘Adat dan Pakaian yang mutawassiṭ’.

Kesimpulan

Jadi, istilah Islam Nusantara itu sendiri masih perlu didiskusikan kembali apakah ia sudah valid dari segi linguistik, sistem alur berfikir, dan fakta sejarah. Perlu, karena penggunaan istilah ‘liar’ semacam ini selain bisa menyesatkan cara berfikir masyarakat awam, juga bisa membuat rusak tatanan bahasa Indonesia secara perlahan yang sebenarnya bisa dicegah lebih dini. Wallahu a’lam.